Sabtu, 13 Oktober 2012

Perlunya Mengembangkan RPP Guru sebagai Pola Kerja Petugas Pemasyarakatan

        Sebagaimana kita ketahui Pemasyarakatan melalui kelembagaan yang ada merupakan suatu tempat atau wadah dimana dengan paradigma barunya tidak lagi mengedepankan aspek keamanan melainkan aspek pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang menjadi penghuninya seperti termuat dalam UU Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 
         Pembinaan berdasarkan literatur yang ada disimpulkan merupakan suatu kegiatan dilakukan secara simultan dan berkelanjutan dalam jangka waktu tertentu dengan tujuan seseorang baik secara individu atau secara berkelompok dapat merubah skill, knowledge dan attitudenya atau sering disingkat SKA menjadi lebih baik, atau dapat dikemukakan bahwa di dalam pembinaan tersebut ada rangkaian kegiatan pendidikan di dalam kegiatannya.
           Jika melihat konteks di atas, maka pada hakekatnya Lembaga Pemasyarakatan/Rutan memiliki ruh yang sama dalam tugas dan fungsinya dengan Lembaga pendidikan formal lainnya seperti sekolah, hanya perbedaan yang nyata adalah para WBP yang ada datang bukan karena kemauan diri sendiri dan keluarga akan tetapi dipaksa oleh hukum atas perbuatan pelanggaran hukum yang telah dilakukan sementara pada Lembaga sekolah siswa datang karena kemauan diri dan keluarganya. 
        Mendasarkan kepada fenomena tersebut yang menjadi pertanyaan saat ini adalah mengapa secara subtantif, pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan / Rutan belum optimal di bandingkan dengan Lembaga sekolah yang ada?.  Beragam jawaban pasti sudah ada di dalam benak teman-teman petugas pemasyarakatan mulai dari : karakteristik WBP, sarana prasarana, sumberdaya manusia petugas dsb sehingga Sekolah sebagai sebuah lembaga peembinaan lebih berhasil daripada Lembaga Pemasyarakatan/Rutan.
        Sebenarnya ada hal yang menarik dalam sistem pendidikan yang dilakukan pada lembaga sekolah sebagai suatu pola kerja para guru yang bertanggung jawab sebagai tenaga pendidik dalam merubah SKA para siswa, yaitu dengan diberikannya keleluasaan para guru untuk membuat atau mendesain  rencana kerjanya sendiri yang akan diberikan kepada para siswa mereka  yang dikenal dengan istilah Rencana Program Pengajaran (RPP) ". Melalui RPP tersebut para guru sebagai tenaga pendidik memiliki pola kerja yang berkesinambungan sesuai dengan apa yang ingin dicapai sesuai dengan tugas dan fungsi Lembaga sekolah masing-masing.
            Di dalam pelaksanaan RPP tersebut para guru bebas dari intervensi pihak managemen sekolah dalam hal ini para koordinator bidang, wakil kepsek bidang yang ada maupun dari kepala sekolah. tugas kepala sekolah sebagai top managemen hanya sebagai supervisi semata karena semua kegiatan pengajaran diserahkan sepenuhnya kepada para guru sehingga hal positif yang bisa kita dapat adalah para guru tidak bekerja secara monoton apalagi copy paste tetapi bergerak sesuai dengan inisiatif dan kreatifitas yang dimilikinya berdasarkan perkembangan yang melingkupinya.
        Melihat kepada pola kerja yang dilakukan pada Lembaga sekolah tersebut di atas, penulis berpikir mengapa kita para petugas-petugas yang ada di Lembaga Pemasyarakatan/Rutan mengadopsi pola kerja yang ada pada Lembaga sekolah sehingga Lembaga Pemasyarakatan/Rutan berhasil dalam melaksanakan pembinaan terhadap WBP.
          Adopsi RPP yang bisa kita lakukan dalam Lembaga pemasyarakatan/Rutan adalah mengganti kata Pengajaran dengan Pekerjaan sehingga RPP yang ada menjadi Rencana Program Pekerjaan, yaitu suatu pola kerja petugas pemasyarakatan di mana atasan memberikan kebebasan kepada para petugas yang ada untuk membuat program kerja berdasarkan bidang maupun sub bidangnya masing-masing sesuai dengan inovasi dan kreasinya, sementara ukuran waktu yang diberikan sesuai dengan capaian yang menjadi target kegiatannya. Melalui pola kerja seperti ini diharapkan akan dapat membawa dampak peningkatan produktifitas kerja para petugas karena setiap petugas akan berusaha meningkatkan kompetensinya agar terus memiliki ide dalam pekerjaannya dan akhirnya akan membawa dampak terciptanya peningkatan kinerja berujung kepada terwujudnya pembinaan WBP yang ideal sebagaimana cita-cita UU Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
     Oleh karena itu, sudah menjadi suatu keputusan yang mendesak bagi pemutus kebijakan di lingkungan pemasyarakatan pola RPP ini untuk segera diadopsi apalagi saat ini kita sudah masuk ke era remunerasi dan sudah menikmati uang remunerasi yang diberikan oleh pemerintah, dimana pemerintah berharap dengan peningkatan kesejahteraan melalui remunerasi tersebut kinerja aparatur pemerintah mendekati ideal khususnya pemasyarakatan. Dengan RPP ini pembinaan dalam Lapas/Rutan dapat terwujud dan tidak bersifat semu semata yang pada akhirnya Lapas/Rutan memiliki nilai jual yang tinggi di mata masyarakat umum sehingga pada akhirnya memberikan peningkatan kesejahteraan kepada para petugas pemasyarakatan merupakan suatu kewajaran yang harus kita terima.

Pentingnya Mindset Pegawai Yang Berjiwa Enterpreneur Pada Seksi Kegiatan Kerja Dalam Meningkatkan Nilai Jual Lapas/Rutan di Indonesia

      
      Lembaga Pemasyarakatan yang di akronimkan sebagai Lapas berdasarkan UU No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan merupakan tempat atau wadah untuk melaksanakan pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dengan tujuan agar WBP tidak mengulangi perbuatan pelanggaran hukum lagi dan dapat kembali ke tengah keluarga dan masyarakatnya serta turut serta dalam pembangunan nasional melalui Sistim Pemasyarakatan.
    Kemudian Sistim Pemasyarakatan yang dimaksud adalah suatu tatanan atau pola pembinaan di mana antara pembina, WBP dan masyarakat saling terintegrited secara bersama-sama turut serta dalam melakukan pembinaan berdasarkan butir-butir yang terkandung dalam dasar negara yaitu Pancasila.
    Selanjutnya dalam melakukan pembinaan, Lapas melakukan dua kegiatan pembinaan yaitu : Pertama pembinaan mental yang meliputi, pemberian pendidikan keagamaan dan kebangsaan. Kedua, pembinaan kemandirian yang meliputi pemberian keterampilan atas minat dan bakat atau yang sekarang kita mengenal adanya pendidikan kecakapan hidup (life skill).
     Kegiatan pembinaan mental di dalam Lapas hampir seluruh Lapas yang ada di Indonesia telah melaksanakan kegiatan ini secara optimal baik melalui program internal Lapas dengan petugas-petugasnya maupun ekternal dari Lembaga-lembaga keagamaan yang ada di tengah masyarakat. Namun demikian meskipun telah dilakukan secara optimal pembinaan mental ini tidak dapat dijadikan sebagai indikator dari keberhasilan pembinaan di Lapas karena sulit untuk mengukur keberhasilan yang ada, kalaupun dapat diukur harus melihat dari outcame WBP setelah kembali ke keluarga dan masyarakat dan itupun pada akhirnya tidak dapat diakui sebagai keberhasilan Lapas. Untuk dapat mengukur keberhasilan di Lapas maka yg mungkin dapat diukur adalah dengan kegiatan produksi secara nyata yang dapat dilihat melalui pembinaan kemandirian. Kondisi ini dapat kita lihat dengan indikator keberhasilan Lapas/Rutan yang dipatok oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan sebesar 76 % wbp yang dimiliki oleh suatu UPT mengikuti pembinaan keterampilan dalam suatu Lapas / Rutan maka UPT tersebut dikatakan berhasil dalam pembinaannya.
      Melihat kondisi tersebut maka Seksie kegiatan kerja yang merupakan unit kerja pada Lapas atau Sub seksi Bimbingan Kegiatan pada Rutan Klas I yang sering di analogkan sebagai kegiatan kerja dalam arti sempit meski sebenarnya kalau kita merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kegiatan memiliki arti luas, memiliki peran penting untuk mewujudkan terciptanya keberhasilan Lapas/Rutan secara menyeluruh melalui kegiatan-kegiatan produksi yang dilakukannya sebagai tugas dan fungsi yg diemban berdasarkan amanat UU Pemasyarakatan serta Peraturan Pemerintah terkait pola pembinaan dalam Lapas. 
    Oleh karena itu sudah menjadi kebutuhan penempatan seseorang dalam sie Kegiatan Kerja di Lapas atau sie Bimbingan Kegiatan dalam Rutan seyogianya merupakan orang-orang yang memiliki jiwa enterpreuner dengan segala inovasi dalam mindsetnya sehingga seseorang tersebut akan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan menghasilkan kegiatan-kegiatan yangg produktif serta mengarah kepada home industri dalam Lapas atau Rutan sehingga pada akhirnya masing-masing Lapas akan memiliki nilai jual ke masyarakat serta dapat mengundang investor untuk melakukan wirausaha dalam Lapas atau Rutan yang pada akhirnya masyarakat tidak lagi mengenal Lapas sebagai tempat pemenjaraan semata  tapi juga sebagai tempat perawatan dan pembinaan pelaku kriminal untuk menjadi warga negara yang taat hukum dan produktif. Hal ini sejalan dengan pemikiran dari pini sepuh pemasyarakatan bahwa " narapidana bukan merupakan penjahat tetapi orang yang tersesat ".